Setiap hari adalah keceriaan dan rasa syukur yang tiada terhingga

Uncategorized

MENULIS KEMBALI DI BLOG

SEMOGA MASIH ADA YANG BUKA BLOG INI.


Materi Bahasa Indonesia

silahkan downloadSEKILAH MATERI INTI BAHASA INDONESIA


Perangkat Mengajar untuk kelas XII Semester 1 dan 2

Bagi yang ingin mendownload..mohon untuk memahami bukan sekedar mengkopi.


Hasil Akhir dari Nilai UTS MK:Puisi Kelas B FKIP PBSI UNEJ 2009

Nilai Terendah= 76
Nilai Tertinggi= 92

Maaf tidak saya tampilkan sebab akan menimbulkan Lara di dada.


Mencoba menulis kembali

Genap 12 putaran bulan ku meninggalkan dunia yang begitu marak
Izinkan aku kembali
Menyapamu
Memelukmu dengan kata-kataku
Wahai para anak-anak ku tercinta.
Bapakmu telah kembali.


DI SINI DULU AKU PERNAH BERKARYA

Hampir ku tinggalkan engkau duniaku.
Aku sudah terlena dengan warna dunia.
Kini ku kembali dengan semangat baru
untuk menyuntingmu kembali
bersama untaian pena hitam ini


Korupsi Menggrogoti Dunia Pendidikan.. Pressrelease dari ICW

Korupsi telah menggerogoti pendidikan. Kenaikan anggaran menjadi tidak bermakna. Indikator pendidikan masih tetap belum memuaskan. Angka putus sekolah (SD dan SMP) masih tetap tinggi yakni sebesar 4,313,001 murid (2004-2008). Hal ini berarti turun 5,1 persen dibandingkan periode sebelumnya sebesar 4,545,921 murid (2000-2004). Meskipun angka putus sekolah turun, hal ini tetap belum sebanding dengan kenaikan anggaran Depdiknas yang mencapai 1,5 kali lipat dibandingkan dengan Depdiknas periode sebelumnya.

Selain itu, jumlah ruang kelas (SD dan SMP) rusak berat juga meningkat, dari 640,660 ruang kelas (2000-2004 meningkat 15,5 persen menjadi 739,741 (2004-2008). Selain itu, persentase guru (SD,SMP dan SM) yang tidak layak mengajar hanya turun sebesar 10 persen. Sekali lagi, performas tiga indikator pendidikan ini tidak sebanding dengan anggaran yang telah dikeluarkan untuk Depdiknas.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya adalah maraknya korupsi pendidikan diseluruh tingkatan birokrasi pendidikan mulai dari Depdiknas sampai tingkatan sekolah.

Penindakan Korupsi Pendidikan

Berdasarkan pemantauan ICW diperoleh bahwa penegak telah mengusut 142 kasus korupsi pendidikan dengan total kerugian negara kurang lebih Rp 243,3 miliar. Dari kasus korupsi tersebut, 287 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka yang sebagian besar berasal dari dinas pendidikan daerah seperti kepala dinas pendidikan (42 orang) dan jajarannya (67 orang).

Dari kasus ini terlihat bahwa, dinas pendidikan telah menjadi institusi paling korup dan menjadi isntitusi penyumbang koruptor pendidikan terbesar dibanding dengan institusi lainnya. Hal ini dapat dipahami mengingat adanya desentralisasi pendidikan yang disertai rendahnya kontrol atas dinas pendidikan dan jajarannya.

Selain itu, sebagian besar korupsi pendidikan berkaitan dengan pengelolaan dana DAK Pendidikan seperti dana untuk rehabilitasi dan pengadaan sarpras sekolah (meubeulair, buku, alat peraga dan lain sebagainya) yakni sebanyak 47 kasus. Total kerugian negara akibat korupsi dana DAK mencapai Rp 115,9 miliar. Selain itu dana operasional sekolah (BOS) juga telah menjadi obyek korupsi yani sebesar 33 kasus dengan total kerugian negara sebesar Rp 12,8 miliar.

Gap Besar Antara Penindakan dan Potensi Korupsi Pendidikan

Namun demikian, korupsi pendidikan yang telah ditindak masih jauh lebih kecil dari penyelewengan dana pendidikan yang ada. Sebagai contoh, berdasarkan audit BPK diketahui bahwa terdapat “6 dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana BOS dengan rata-rata penyimpangan Rp 13,7 juta persekolah”. Selain itu, berdasarkan audit BPK juga diketahui “3 dari dinas kabupaten/kota mengarahkan pengelolaan dana DAK pada pihak ketiga”. Terakhir, berdasarkan perhitungan ICW terhadap audit BPK terhadap anggaran Depdiknas sampai semester I tahun 2007, diketahui terdapat dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi diselewengkan.

Berdasarkan hasil ini maka dapatlah disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sektor yang sangat rawan korupsi. Hal ini disebabkan empat faktor pertama merupakan sektor yang mendapatkan anggaran paling yang besar dari negara. Kedua banyak aktor terlibat dalam sektor pendidikan baik dari birokrasi pendidikan mulai dari Depdiknas, Dinas Pendidikan, sekolah serta juga berasal dari politisi, kontraktor/pemborong dan supplier sarpras (Sarana prasarana) pendidikan. Keempat, tata kelola (governance) disektor pendidikan masih buruk. Hal ini terlihat dari pengelolaan anggaran pendidikan yang belum transparan, akuntabel dan partisipatif. Institusi pendidikan terutama Depdiknas masih bermasalah ketika diaudit oleh BPK atau BPKP. Paling tidak, status disclaimer (tidak memberikan opini) yang disandang Depdiknas sampai tahun 2007 adalah bukti betapa buruknya pengelolaan anggaran pendidikan di Depdiknas. Begitu juga dengan pengelolaan anggaran pendidikan ditingkat daerah dan sekolah juga masih bersifat tertutup. Keempat, besarnya anggaran pendidikan telah menjadi sumberdana penggalangan kampanye bagi politisi dalam pemilu atau pilkada.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan analisis terhadap 5 tahun pemberantasan korupsi pendidikan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

Korupsi menyebabkan tujuan pendidikan tidak tercapai. Kenaikan anggaran pendidikan tidak berdampak signifikan terhadap indikator pendidikan karena banyaknya penyimpangan dan kebocoran anggaran. Kenaikan anggaran pendidikan justru meningkatkan potensi korupsi disektor pendidikan. Hal ini terjadi karena buruknya tata kelola (governance) disektor pendidikan.
Desentralisasi pendidikan telah memunculkan aktor-aktor korupsi pendidikan baru, yakni kepala dinas pendidikan beserta jajarannya. Hal ini terjadi karena rendahnya partisipasi publik dalam kontrol kewenangan dinas pendidikan daerah dalam penetapan kebijakan dan anggaran pendidikan daerah. Kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan daerah hanya dikuasai oleh pejabat birokrasi pendidikan daerah.
Depdiknas gagal mengelola anggaran pendidikan yang besar. Hal ini dibuktikan dengan opini disclaimer oleh BPK atas laporan keuangan Depdiknas. Depdiknas hanya berhasil meningkatkan status opini Wajar Dengan Pengecualian pada tahun 2008. Capaian ini juga tidak sesuai yang ditetapkan dalam Renstra Depdiknas 2004 – 2009.
Penindakan kasus korupsi pendidikan masih sangat rendah dibandingkan dengan besaran alokasi pendidikan dan potensi korupsi pendidikan berdasarkan audit BPK. Penindakan kasus korupsi pendidikan hanya mampu menjerat aktor ditingkat dinas pendidikan dan sekolah (middle lower). Sedangkan aktor ditingkat Depdiknas dan DPR masih sangat sedikit. Padahal dua lembaga tersebut memiliki kewenangan paling tinggi atas kebijakan pendidikan di Indonesia.
Rekomendasi:

Presiden SBY mengevaluasi kinerja pemberantasan korupsi sektor pendidikan sebagai perwujudan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Evaluasi terutama ditujukan pada kinerja pengelolaan anggaran pendidikan dan penindakan dugaan korupsi disektor pendidikan.
KPK memprioritaskan penindakan kasus korupsi pendidikan terutama di Depdiknas. Depdiknas merupakan instusi pengelola anggaran pendidikan terbesar dan juga memiliki kewenangan tertinggi dalam kebijakan pendidikan.
Memperbaiki tata kelola di sektor pendidikan dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya guna mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan perumusan kebijakan pendidikan sehingga bisa menghindari penyimpangan dan penyelewengan.
Penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian dan KPK) mengusut tuntas semua kasus korupsi pendidikan diseluruh Indonesia


Keterampilan Berbahasa

KETERAMPILAN BERBAHASA INDONESIA

A. Pendahuluan

Keterampilan berbahasa Indonesia diberikan kepada guru, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa guru Sekolah Dasar. Keterampilan berbahasa Indonesia mencakup: Keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan menulis, dan keterampilan membaca. Penyajian materi ini dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa keterampilan berbahasa sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Mari perhatikan kehidupan masyarakat. Anggota-anggota masyarakat saling berhubungan dengan cara berkomunikasi. Komunikasi dapat berupa komunikasi satu arah, dua arah, dan multi arah. Komunikasi satu arah terjadi ketika seseorang mengirim pesan kepada orang lain, sedangkan penerima pesan tidak menanggapi isi pesan tersebut. Misalnya, khotbah jumat dan berita di TV atau radio. Komunikasi dua arah terjadi ketika pemberi pesan dan penerima pesan saling menanggapi isi pesan. Komunikasi multi arah terjadi ketika pemberi pesan dan penerima pesan yang jumlahnya lebih dari dua orang saling menanggapi isi pesan (Abd. Gofur, 1: 2009)
Dalam kegiatan komunikasi, pengirim pesan aktif mengirim pesan yang diformulasikan dalam lambang-lambang berupa bunyi atau tulisan. Proses ini disebut dengan encoding. Selanjutnya si penerima pesan aktif menerjemahkan lambang-lambang tersebut menjadi bermakna sehingga pesan tersebut dapat diterima secara utuh. Proses ini disdebut dengan decoding.

B. Aspek-aspek Keterampilan berbahasa

Sehubungan dengan penggunaan bahasa, terdapat empat keterampilan dasar berbahasa yaitu, menyimak, berbicara, menulis, dan membaca. Keempat keterampilan tersebut saling terkait antara yang satu dengan yang lain.

B.1. Hubungan Menyimak dengan Berbicara
Menyimak dan berbicara merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang langsung. Menyimak bersifat reseptif, sedangkan berbicara bersifat produktif. Misalnya, komunikasi yang terjadi antar teman, antara pembeli dan penjual atau dalam suatu diskusi di kelas. Dalam hal ini A berbicara dan B mendengarkan. Setelah itu giliran B yang berbicara dan A mendengarkan. Namun ada pula dalam suatu konteks bahwa komunikasi itu terjadi dalam situasi noninteraktif, yaitu satu pihak saja yang berbicara dan pihak lain hanya mendengarkan. Misalnya Khotbah di masjid, dimana pemceramah menyampaikan ceramahnya, sedangkan yang lainnya hanya mendengarkan.
Terkait dengan kegiatan pembelajaran, guru dituntut untuk mampu memodifikasi aktivitas pembelajaran agar siswa mampu untuk melaksanakan kegiatan komunikasi baik satu arah, dua arah, maupun multi arah. Aktivitas yang dapat dilakukan adalah dengan metode diskusi kelompok, Tanya jawab, dan sebagainya.

B.2. Hubungan Menyimak dan Membaca
Menyimak dan membaca sama-sama merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif. Menyimak berkaitan dengan penggunaan bahasa ragm lisan, sedangkan membaca merupakan aktivitas berbahasa ragam tulis. Penyimak maupun pembaca malakukan aktivitas pengidentifikasian terhadap unsure-unsur bahasa yang berupa suara (menyimak), maupun berupa tulisan (membaca) yang selanjutnya diikuti diikuti dengan proses decoding guna memperoleh pesan yang berupa konsep, ide, atau informasi.
Keterampilan menyimak merupakan kegiatan yang paling awal dilakukan oleh manusia bila dilihat dari proses pemerolehan bahasa. Secara berturut-turut pemerolehan keterampilan berbahasa itu pada umumnya dimulai dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Kegiatan menyimak diawali dengan mendengarkan, dan pada akhirnya memahami apa yang disimak. Untuk memahami isi bahan simakan diperlukan suatu proses berikut; mendengarkan, mengidentifikasi, menginterpretasi atau menafsirkan, memahami, menilai, dan yang terakhir menanggapi apa yang disimak. Dalam hal ini menyimak memiliki tujuan yang berbeda-beda yaitu untuk; mendapatkan fakta, manganalisa fakta, mengevaluasi fakta, mendapat inspirasi, menghibur diri, dan meningkatkan kemampuan berbicara.
Menyimak memiliki jenis-jenis sebagai berikut:
1. Menyimak kreatif: menyimak yang bertujuan untuk
mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas pembelajar.
2. Menyimak kritis: menyimak yang dilakukan dengan sungguh-
sungguh untuk memberikan penilaian secara objektif.
3. Menyimak ekstrinsik: menyimak yang berhubungan dengan hal-hal
yang tidak umum dan lebih bebas.
4. Menyimak selektif: menyimak yang dilakukan secara sungguh-
sungguh, dan memilih untuk mencari yang terbaik.
5. Menyimak sosial: menyimak yang dilakukan dalam situasi-situasi
sosial.
6. Menyimak estetik: menyimak yang apresiatif, menikmati keindahan
cerita, puisi, dll.
7. Menyimak konsentratif: menyimak yang merupakan sejenis telaah
atau menyimak untuk mengikuti petunjuk-petunjuk.

B.3. Hubungan Membaca dan Menulis
Membaca dan menulis merupakan aktivitas berbahasa ragam tulis. Menulis adalah kegiatan berbahasa yang bersifat produktif, sedangkan membaca adalah kegiatan yang bersifat reseptif. Seorang penulis menyampaikan gagasan, perasaan, atau informasi dalam bentuk tulisan. Sebaliknya seorang pembaca mencoba memahami gagsan, perasaan atau informasi yang disajikan dalam bentuk tulisan tersebut.
Membaca adalah suatu proses kegiatan yang ditempuh oleh pembaca yang mengarah pada tujuan melalui tahap-tahap tertentu (Burns, 1985). Proses tersebut berupa penyandian kembali dan penafsiran sandi. Kegiatan dimulai dari mengenali huruf, kata, ungkapan, frasa, kalimat, dan wacana, serta menghubungkannya dengan bunyi dan maknanya (Anderson, 1986). Lebih dari itu, pembaca menghubungkannya dengan kemungkinan maksud penulis berdasarkan pengalamannya (Ulit, 1995). Sejalan dengan hal tersebut, Kridalaksana (1993) menyatakan bahwa membaca adalah keterampilan mengenal dan memahami tulisan dalam bentuk urutan lambing-lambang grafis dan perubahannya menjadi bicara bermakna dalam bentuk pemahaman diam-diam atau pengujaran keras-keras. Kegiatan membaca dapat bersuara nyaring dan dapat pula tidak bersuara (dalam hati).
Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambing-lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambing-lambang grafis tersebut (Bryne, 1983). Lebih lanjut Bryne menyatakan bahwa mengarang pada hakikatnya bukan sekedar menulis symbol-simbol grafis sehingga berbentuk kata, dan kata-kata tersusun menjadi kalimat menurut peraturan tertentu, akan tetapi mengarang adalah menuangkan buah pikiran ke dalam bahasa tulis melalui kalimat-kalimat yang dirangkai secara utuh, lengkap, dan jelas sehingga buah pikiran tersebut dapat dikomunikasikan kepada pembaca.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan karang-mengarang, pengarang menggunakan bahasa tulis untuk menyatakan isi hati dan buah pikirannya secara menarik kepada pembaca. Oleh karena itu, di samping harus menguasai topik dan permasalahannya yang akan ditulis, penulis dituntut menguasai komponen (1) grafologi, (2) struktur, (3) kosakata, dan (4) kelancaran.
Aktivitas menulis mengikuti alur proses yang terdiri atas beberapa tahap. Mckey mengemukakan tujuh tahap yaitu (1) pemilihan dan pembatasan masalah, (2) pengumpulan bahan, (3) penyusunan bahan, (4) pembuatan kerangka karangan, (5) penulisan naskah awal, (6) revisi, dan (7) penulisan naskah akhir.
Secara padat, proses penulisan terdiri atas lima tahap yaitu; (1) pramenulis, (2) menulis, (3) merevisi, (4) mengedit, dan (5) mempublikasikan.
1. Pramenulis
Pramenulis merupakan tahap persiapan. Pada tahap ini seorang penulis melakukan berbagai kegiatan, misalnya menemukan ide/gagasan, menentukan judul karangan, menentukan tujuan, memilih bentuk atau jenis tulisan, membuat kerangka dan mengumpulkan bahan-bahan.
Ide tulisan dapat bersumber dari pengalaman, observasi, bahan bacaan, dan imajinasi. Oleh karena itu, pada tahap pramenulis diperlukan stimulus untuk merangsang munculnya respon yang berupa idea tau gagasan. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas, misalnya membaca buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain.
Penentuan tujuan menulis erat kaitannya dengan pemilihan bentuk karangan. Karangan yang bertujuan menjelaskan sesuatu dapat ditulis dalam bentuk karangan eksposisi; karangan yang bertujuan membuktikan, meyakinkan, dan membujuk dapat disusun dalam bentuk argumentasi dan persuasi. Karangan yang bertujuan melukiskan sesuatu dapat ditulis dalam bentuk karangan deskripsi. Di samping seorang penulis dapat memilih bentuk prosa, puisi, atau drama untuk mengkomunikasikan gagasannya.
2. Menulis
Tahap menulis dimulai dari menjabarkan ide-ide ke dalam bentuk tulisan. Ide-ide dituangkan dalam bentuk satu karangan yang utuh. Pada tahap ini diperlukan berbagai pengetahuan kebahasaan dan teknik penulisan. Pengetahuan kebahasaan digunakan untuk pemilihan kata, penentuan gaya bahasa, dan pembentukan kalimat. Sedangkan teknik penulisan diterapkan dalam penyusunan paragraf sampai dengan penyusunan karangan secara utuh.
3. Merevisi
Pada tahap merivisi dilakukan koreksi terhadap keseluruhan paragraf dalam tulisan. Koreksi harus dilakukan terhadap berbagai aspek, misalnya struktur karangan dan kebahasaan. Struktur karangan meliputi penataan ide pokok dan ide penjelas serta sistematika penalarannya. Sementara itu aspek kebahasaan meliputi pemilihan kata, struktur bahasa, ejaan dan tanda baca.
4. Mengedit
Apabila karangan sudah dianggap sempurna, penulis tinggal melaksanakan tahap pengeditan. Dalam pengeditan ini diperlukan format baku yang akan menjadi acuan, misalnya ukuran kertas, bentuk tulisan, dan pengaturan spasi. Proses pengeditan dapat diperluas dan disempurnakan dengan penyediaan gambar atau ilustrasi. Hal itu dimaksudkan agar tulisan itu menarik dan lebih mudah dipahami.
5. Mempublikasikan
Mempublikasikan mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama, berarti menyampaikan karangan kepada public dalam bentuk cetakan, sedangkan pengertian yang kedua disampaikan dalam bentuk noncetakan. Penyampaian noncetakan dapat dilakukan dengan pementasan, penceritaan, peragaan, dan sebagainya.
B.4. Hubungan Menulis dengan Berbicara
Berbicara dan menulis merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat produktif. Berbicara merupakan kegiatan ragam lisan, sedangkan menulis merupakan kegiatan berbahasa ragam tulis. Menulis pada umumnya merupakan kegiatan berbahasa tak langsung, sedangkan berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat langsung.
Berbicara pada hakikatnya merupakan suatu proses berkomunikasi yang dalam proses itu terjadi pemindahan pesan dari satu pihak (komunikator) ke pihak lain (komunikan). Pesan yang akan disampaikan kepada komunikan lebih dahulu diubah ke dalam symbol-simbol yang dipahami oleh kedua belah pihak (Abd. Gofur, 6 : 2009)
Aspek-aspek yang dinilai pada kegiatan berbicara terdiri atas aspek kebahasaan dan nonkebehasaan. Aspek kebahasaan terdiri atas; ucapan atau lafal, tekanan kata, nada dan irama, persendian, kosakata atau ungkapan, dan variasi kalimat atau struktur kalimat. Aspek nonkebahsaan terdiri atas; kelancaran, penguasaan materi, keberanian, keramahan, ketertiban, semangat, dan sikap.
Langkah-langkah yang harus dikuasai oleh seorang pembicara yang baik adalah:
1. Memilih topik, minat pembicara, kemampuan berbicara, minat pendengar, kemampuan mendengar, waktu yang disediakan.
2. Memahami dan menguji topik, memahami pendengar, situasi, latar belakang pendengar, tingkat kemampuan, sarana.
3. Menyusun kerangka pembicaraan, pendahuluan, isi dan penutup.

Tentang penulis :
Fusliyanto, S.Pd adalah Dosen Luar Biasa Bahasa Indonesia FKIP-UNEJ dan Dosen Universitas Terbuka dan Guru SMAN 2 JEMBER.
SOAL TES BAHASA INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA

Gofur, Abd. 2009. Modul Diklat Guru Bahasa Indonesia. Medan : Balai Diklat Keagamaan Medan.


Puasa

Tutup Mata
Tutup telinga
Tutup Hati
Tutup Rasa
Tutup Nafsu
Jangan Tutup Usia
Pertemukan dengan Romadhon dan syawal
Selamat menunaikan ibadah puasa


keluh kesah Bachtiar… Alumni sesi “curhat”

kalau boleh jujur sich,sudah banyak kesempatan yang dah terlewatkan dikala jadi siswa Di SMADA pak.ternyata banyak ilmu yang berguna dan bisa dijadikan bekal dalam kerjaanku sekarang,padahal tempat menimba ilmu yang paling murah ya waktu sekolah itu,dari pada kursus dengan biaya sekarang cukup tinggi itupun satu materi saja.pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih buat smada yg sudah mendidik murid2mu.(sayang ya aku gak bisa kembali menjadi siswa di smada lagi seperti dulu.)buat adik2 di smada beruntunglah kalian yang bisa memanfaatkan kesempatan menjadi siswa di smada,jagan di buang sia2lah kesempatan ini.ambil semua ilmu yg di ajarkan suatu hari pasti ada gunanya bagi kita semua.


Daftar Mahasiswa yang telah mengerjakan UJIAN

Berikut Nama-nama yang telah mengumpulkan baik lewat blog atau e-mail
NB: Bagi 3 mahasiswa yang belum tanda tangan harap temui saya. Call 0331 3689227
Bagi yang belum terdaftar namanya Call Juga
fatimah azzahro
silvy dwy rahmawati
denies hermawan
nurul elfatul faris
ninin yunita kristanti
oky natacya dewi
dwi hidayati
helmi nilasari
tegus basuki
dyah kirana
sabib ulul albab
atika wahyuningtyas arifi
yaumum afifah
fredy manuputy
diana
novario ari ardiansyah
dian kusuma
ahmad majid arrosyid
indah wulan
Iin Farida
prasdita saputri
ainur rofik
carina astari
VJ Alee
Ariel sabib
joe A
Ari mulyaningsih
kamila
santi nurindah sari
aisa nur rohmah
mardiyah ika septi
ria
ailianan trisna
risca ningrum
vaega rohidzafi
laila wahidan
mila susanti
ina
muhimatul ailiyah
pipit ermawati
siti masruroh
luluk kamila
rahma wulan puspareni
siska muawanah
lita yuli hartatik
selfi yuni fitria
titis budi sevani
wahdiyatul masruroh
nailul rochmatil maula
nur muhlisoh armi
rizki murniasih
siti mutmainah
laila R.W


Soal Ujian Semester MK: Kajian Buku Paket FKIP – FBS – UNEJ

Kerjakan dengan benar!

1. Jelas dengan memberi contoh paragraf Deduktif! (Contoh tidak boleh sama apabila ditemukan Kesamaan dalam contoh dan jawaban maka Anda Tidak Lulus).

2. Jelaskan Jenis-jenis Klausa dengan menyertakan contoh masing-masing 2(dua)!

3. Jelaskan dengan memberi contoh:

a. peyorasi

b. sinestesia

c. Asosiasi

d. Afiksasi

4. Jelaskan dengan singkat pengertian “Kesalahan dalam Pengkajaian Buku Teks” dari kacamata

Saudara!

5. Jelaskan dengan memberi contoh:

a. Kata Ulang

b. Perluasan Makna

c. Penyempitan Makna

d. Paragraf Analogi

6. Beri contoh:

a. Majas Metonemia

b. Majas Eufemisme

c. Majas Sinekdok Totem Pro Parte.

d. Majas Litotes

7. Jelaskan perbedaan

a. Karangan argumentasi VS karangan Eksposisi

b. Kalimat Berpelengkap  VS kalimat berobjek

c. Paragraf Deduktif   VS Paragaraf Induktif

8.  Tentukan klausa dari kalimat dibawah ini dengan memberi penanda penjedaan ( / ) dari masing-

masing klausa!

Ketika hujan turun dengan derasnya dan disertai guntur yang menggelegar Andi

pergi   menolong kakek tua yang kelaparan itu ke puskesmas.

9. Bagaimanakah pendapat Saudara tentang figur guru yang BAIK?

10. Siapakah yang paling bertanggung jawab apabila siswa tidak suka dengan sebuah mata

pelajaran, jelaskan pendapat Saudara!

Jawaban ditunggu maksimal Jam 20.00 tgl 24 juni 2009.

ANDA COMMENT DI BLOG INI dengan menyertakan NAMA  NIM  dan Angkatan ANDA

CONTOH:

Jawaban

NAMA       : Fusliyanto

NIM           : 9402108268

Angkatan: 1994

1. ………………..

2. ……………….

3. ……………….

4. ………………. dst


mAU 100 aTAu HANYA 98…ATAU 96 % atau……..

Lulus kok susah…

gak lulus tambah susah…

sekolah 3 tahun hanya dihargai dalam waktu 3-5 hari saja… setelah itu mati… kalau gak lulus….

kasihan yang lulus… lebih kasihan lagi yang gak lulus…

semangat… semangat… … a w a s tahun depan harus lulus 100% ….

kalau pengen lulus dengan mulus… banyak makan bulus biar licin….

nulis lagi ngawur dan stresss.


Jangan Bersedih Anakku

Semua yang kau kenal
semua yang kau cinta
akan mencintaimu dengan meninggalkanmu
sebab akan terlihat seberapa besar cintamu
setelah ditinggalkan


Aku Ingin “dari sapardi DJ” renungan dari Tri Januar tersayang

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Lulus dengan nilai berkualitas Durian Purwosari

Sungguh menyakitkan ketika menyaksikan banyak orang yang melakukan kesalahan dan kesengajaan untuk memperbaiki keadaan menjadi lebih baik.
Tak luput anak SMA seluruh Indonesia. ada yang belajar, ada yang santai, ada yang bingung menyembunyikan HP di balik celana…
semua itu hanya demi satu hal…
LULUS UNAS SMA TAHUN 2009
ingat masih banyak tantangan yang lebih susah yang tidak bisa anda hadapi dengan hanya menggunakan HP dan Kerjasama yang salah!
Lulus lah dengan bangga dan mendapatkan kualitas durian Purwosari Jember
Tulisan ini di buat khusus anak-anak SMADA Jember yang baru Selesai UN 2009


2 pilihan yang akan menentukan jalan hidup kita

1. Menikah dengan orang yang kau cintai

atau

2. Mencintai orang yang kau nikahi

Mencintai dan dicintai adalah hal yang diinginkan oleh setiap orang. Cinta antara orang tua dan anaknya, suami dengan istri, kakak dengan adik atau antara sesama manusia. Tak jarang beberapa benda-benda kesayang pun tak luput dari cinta kita, seperti mobil, baju, hp, komputer,dll. Semuanya manusiawi.

Namun kita perlu waspada ketika cinta kita kepada anak, istri, suami, kakak, adik dan orang tua bahkan harta benda telah membuat kita jauh atau bahkan lupa kepada Sang pemilik Cinta yang hakiki.

Saat kita menikah, kita telah dianggap telah melaksanakan 1/2 dari agama. Artinya yang setengahnya lagi harus kita gapai bersama pasangan didalam mahligai rumah tangga.


Info Buat yang ingin belajar filsafat

Saya punya Seorang Mbah…

Mbah saya sakti mandra “guNa”.. dia bisa menjawab semua pertanyaan Anda..

kalau penasaran… klik www.pengawas5.wordpress.com

selamat mengunjungi… tanya saja semua…


Lagi Capek Nulis

a

b

c d e f  g h i j

Apalah arti tulisan ini ??????


tRAgEDI sABTU pAGI

sEBUAH KATA
YANG MUNGKIN
TAK PERNAH TERLUPAKAN
KAU …
BODOH MR.FUS
KENAPA BEGITU CEROBOH
MENGGUNTING SISI HIDUP
SEORANG ANAK KECIL
DI DEPAN MATAMU
AKU MENYESAL
MELUKAIMU
TERKULAI
LEMAS
RASANYA
KAKIKU
MAAFKAN
ANAKKU


BAHAN AJAR FPBS – IND FKIP UNEJ

1. Kalimat majemuk bertingkat
Ciri penanda kalimat majemuk bertingkat adalah dengan menentukan salah satu unsur kalimat yangg diperluas. Contoh : “perluasan Subjek”
Sutrisno menidurkan adiknya.
sutrisno akan kita perluas: membentu pola kalimat baru.
menjadi==> Petugas perpus sma 2 yang tampan itu menidurkan adiknya.
atau contoh yang lain berupa perluasa Objek.
Sutrisno menidurkan adiknya.
menjadi
Sutrisno menidurkan saudara terkecilnya.

2. Kalimat berobjek
Kalimat berobjek adalah kalimat yang terdiri dari subjek predikat dan objek.
ciri penanda:
kalimat dapat dipasifkan
objek bisa dijadikan objek
Sutrisno makan nasi
S P O

dipasikan menjadi
Nasi dimakan Sutrisno

3. Wawancara
Teknik wawancara dapat dilakukan dengan menggunakan kiat 5 W 1 H
what?
where?
when?
why?
who?
How
4. Kalimat Ambigu
Kalimat ambigu adalah kalimat yang memiliki banyak arti atau multi tafsif
contoh
Kakak makan kucing mati.
akan menjadi rancu kalau menggunakan penekanan dalam pengucapannya.
kakak makan, kucing mati
kakak, makan kucing mati
kakak makan kucing, mati

SEKIAN dulu Matur Thank Kyu


Kepala Sekolah dan Manajemen Tukang Bakso “oleh-oleh Pak Zulfaisal P” Banjarmasin

Kepala Sekolah dan Manajemen Bakso
Kepala Sekolah

dan

Manajemen Bakso

Sebuah sinyalemen menarik tentang kepala sekolah diungkap Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banjar. Dalam sebuah Sarasehan Pendidikan yang diselenggarakan tepat di Hari Pendidikan Nasional (2/5) kemarin, ia menyatakan bahwa sebagian kepala sekolah (kepsek) masih menerapkan manajemen bakso (Radar Banjar, 4/5). Menarik, karena sinyelemen ini menganalogikan profesionalisme seorang kepala sekolah dengan profesionalisme tukang bakso. Apalagi pernyataan ini muncul dari mulut seorang kepala dinas yang merupakan atasan langsung sang kepsek.

Dalam pandangannya, seorang kepsek dianggap masih menggunakan manajemen bakso apabila dalam perencanaan dan pelaksanaan berbagai programnya tidak melibatkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Manajemen seorang penjual bakso adalah merencanakan sendiri, membuat bahan sendiri, menyiapkan sendiri, menjual sendiri, dan memungut hasil jualannya sendiri. Seorang kepsek yang menggunakan manajamen bakso dalam menjalankan tugasnya berakibat pada ketidakpuasan dan protes guru-gurunya. Demikianlah yang dikatakan oleh kepala dinas tersebut.

Sesungguhnya apakah memang ada kepsek yang demikian itu? Mengelola sebuah institusi yang bernama sekolah dengan cara seperti mengelola gerobak bakso! Untuk memastikannya barangkali diperlukan sebuah penelitian yang lebih cermat. Tentunya harus dengan indikator yang jelas bagaimana sebenarnya “manajemen bakso” tersebut dan bagaimana kepsek yang menggunakan manajemen tersebut. Sebab, ini menyangkut persoalan besar dunia pendidikan. Kalau sinyalemen itu benar, maka makin terjawablah bahwa salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan kita adalah karena salah urus sekolah.

Sejenak kita bayangkan bagaimana sebuah sekolah dikelola dengan manajemen bakso. Sebagai seorang pemimpin, semestinya kepsek bisa memanfaatkan semua potensi guru dan staf sekolah untuk melaksanakan programnya. Sehingga untuk tugas-tugas tertentu, kepsek bisa mendelegasikan kepada bawahannya. Namun, seperti layaknya tukang bakso, kepsek ternyata sangat percaya diri untuk mengerjakannya sendiri. Apalagi bila menyangkut urusan uang. Mulai dari menyusun program, membuat proposal, mengajukannya, mengambil hasilnya bila disetujui, bahkan ketika harus membelanjakannya. Sedangkan guru dan staf sekolah lainnya hanya berkesempatan meng’amin’kannya.

Contoh kasus yang digambarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banjar adalah ketika ia meminta kepada bendahara sekolah (biasanya guru atau staf) untuk mengambil Dana Bantuan Operasional (DBO) ke dinas, ternyata yang datang kepala sekolah sendiri. Menstempel sendiri, memprogram sendiri. Anehnya, ketika ditanyakan kepada guru-guru bawahannya, ternyata kebanyakan mengaku tidak tahu tentang adanya bantuan tersebut. Terlepas benar atau tidaknya kasus yang digambarkan tersebut, adanya kepsek yang bergaya tukang bakso ini tentu harus membuat kita prihatin.

Peran Kepsek

Di sekolah, kepsek bukanlah segala-galanya. Ia adalah bagian dari komunitas warga sekolah lainnya, seperti guru, siswa, staf tata laksana, dan pesuruh sekolah. Bahkan, kepsek adalah bagian terkecil dari ekosistem sebuah sekolah yang tidak sekadar dihuni oleh warga sekolah, tapi juga oleh komunitas lain seperti sarana dan prasarana, kurikulum, KBM, dan sebagainya. Namun, dalam struktur suatu unit sekolah, kepsek adalah pemimpin tertinggi yang membawahi seluruh ekosistem yang ada di dalamnya. Sehingga, berdasarkan teori piramida, kepsek adalah puncak yang membawa pengaruh bagi badan dan akar bangunan di bawahnya yang bernama sekolah.

Sebagai seorang kepala sekolah, tugas pokoknya adalah “memimpin” dan ” mengelola” guru dan staf lainnya untuk bekerja sebaik-baiknya demi mencapai tujuan sekolah. Memimpin (to lead) sekolah adalah cara atau usaha kepsek dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan guru, staf, siswa, orang tua siswa, dan pihak lain yang terkait, untuk bekerja / berperan serta guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Burhanuddin, 1994). Sedangkan mengelola (to manage) sekolah artinya mengatur agar guru dan staf sekolah bekerja secara optimal, dengan mendayagunakan sarana / prasarana yang dimiliki serta potensi masyarakat demi mendukung ketercapai tujuan sekolah (Effendi, dkk., 1997).

Kepemimpinan itu situasional. Suatu kepemimpinan dapat efektif untuk situasi tertentu dan kurang efektif untuk situasi yang lain. Sekalipun menurut para ahli tipe dasar kepemimpinan itu adalah otoriter, demokratis, dan laissez-faire, namun bukan berarti ada tipe kepemimpinan yang jelek atau tidak boleh digunakan. Dalam situasi perang, tipe kepemimpinan otoriter mungkin efektif agar semua terkendali. Dalam situasi darurat sekolah, seperti kebakaran atau perkelahian massal pelajar maka kepemimpinan otoriter juga efektif. Sebaliknya untuk situasi normal di sekolah, kepemimpin otoriter sangat tidak efektif. Kenyataannya sangat jarang dan hampir tidak pernah sebuah sekolah berada dalam situasi darurat. Jadi, akan terasa minor bila ada kepsek yang bergaya otoriter dalam memimpin sekolah.

Yang sering terjadi di sekolah adalah adanya kepsek yang tidak memahami dan melaksanakan prinsip kepemimpinan. Seperti yang kita ketahui, ada sepuluh prinsip kepemimpinan yang dikemukakan oleh Sergiosanni (1987) dalam bukunya yang berjudul The Principalship: A Reflective Practice Perspective, yang biasa dipergunakan sebagai dalil kepemimpinan di mana pun. Kesepuluh prinsip itu adalah: konstruktif, kreatif, partisipatif, koperatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, adaptabel dan fleksibel. Dari kesepuluh prinsip kepemimpinan tersebut kita bisa melihat prinsip mana saja yang tidak bisa dilaksanakan oleh pemimpin kita di sekolah.

Prinsip kepemimpinan mana yang harus diterapkan kepsek di sebuah sekolah sangat tergantung kepada situasi dan kondisi staf yang dipimpinnya. Jika menghadapi staf yang berkemampuan dan motivasi kerja yang baik, maka prinsip delegatif paling efektif. Untuk staf yang berkemampuan kerja baik, tetapi motivasi kerja kurang, maka prinsip partisipatif paling efektif. Bila menghadapi staf yang berkemampuan kurang baik, tetapi memiliki motivasi kerja baik, maka prinsip konsultatif sangat efektif. Sebaliknya jika menemui staf yang berkemampuan dan motivasi kerja yang kurang, maka prinsip instruktif paling efektif. Permasalahannya seberapa banyak kepsek yang sedang memimpin di sekolah-sekolah saat ini yang memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip tersebut. Sebagian dari mereka menjalankan kepemimpinannya hanya dengan naluri kepemimpinan saja dan mengusung alasan “sudah tradisi”.

Prinsip kepemimpinan yang paling utama sebenarnya adalah keteladanan. Seberapa banyak pemimpin di sekolah-sekolah kita yang mengusung keteladanan sebagai hal yang mendasar. Memerintahkan ini itu kepada guru, staf, dan siswa di sekolah tapi tanpa diikuti dengan suatu contoh nyata adalah hal mustahil. Menerapkan aturan disiplin jam masuk dan pulang sekolah kepada warga sekolah tetapi kepsek-nya sendiri masuk dan pulang sekehendak hati tentu tidak akan membuat aturan itu dipatuhi. Mengharuskan warga sekolah mengenakan pakaian kerja dan seragam sekolah yang sesuai dengan hari-harinya tetapi kepsek-nya sendiri berpakaian sesuai seleranya sendiri – seperti tidak mengenakan seragam pramuka pada hari Sabtu – tentu akan membuat penyeragaman itu tidak bertahan lama. Yang lebih sumir lagi adalah ketika sekolah sebagai kawasan bebas rokok ternyata dilanggar sendiri oleh kepseknya – yang celakanya lagi diikuti oleh guru dan stafnya. Akibatnya, ketika kepsek dan guru serta staf sekolah mengepulkan asap rokok di ruang kantor, siswa pun asyik menebar asap di wc dan warung sekolah.

Faktor keteladanan kepsek ini jadi begitu penting mengingat kepemimpinan di sekolah tidak seperti kepemimpinan di institusi lain, apalagi bila dibandingkan kepemimpinan di perusahaan-perusahaan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah wadah mengolah mental dan moral anak bangsa. Bukan sekadar sebagai lumbung ilmu, tetapi juga kran untuk mengucurkan sikap-sikap positif bagi siswa dalam menjalankan kehidupannya. Akan terasa aneh kalau siswa dan warga sekolah lainnya kurang menemukan contoh nyata yang bisa diteladani justru di tempat yang seharusnya menjadi galeri keteladanan. Barangkali perlu suatu gerakan baru untuk lebih mengusung prinsip ing ngarso sung tulodo daripada sekadar tut wuri handayani. Karena menjadi teladan itu lebih utama dan sulit tinimbang cuma mendorong-dorong bawahan untuk melaksanakan tugasnya.

Kepsek sebagai Top Manajer

Sebagai pengelola sebuah sekolah sesungguhnya kepsek adalah seorang top manager. Maksudnya, seorang kepsek adalah pengelola utama seluruh potensi dan segala aktivitas yang ada dan berlangsung di sekolah. Me-manage sekolah agar seluruh potensi sekolah berfungsi secara optimal bukanlah perkerjaan yang gampang. Diperlukan suatu keahlian manajerial yang maksimal. Apalagi yang dikelola bukanlah sekadar benda mati seperti surat-menyurat, buku-buku, kwitansi, atau gedung sekolah saja, namun juga makhluk hidup seperti guru, staf, dan siswa sebagai sumber daya manusia yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Tentu, selain harus menguasai pengetahuan prinsip-prinsip manajemen, seorang kepsek juga menguasai seni mengelola. Seberapa banyak kepsek yang menguasai sekaligus pengetahuan prinsip dan seni manajemen.

Kita mengetahui bahwa hampir semua kepsek berasal dari guru sebagai tenaga teknis pendidikan. Sebagai seorang guru, kemampuan yang ada selama ini terbatas pada teori-teori kependidikan, bagaimana mengajar dan mendidik siswa agar mampu mencapai tujuan intruksional yang akan dicapai. Sedikit, ilmu tentang administrasi pendidikan, yaitu yang tertuang pada kemampuan membuat perangkat pembelajaran, pemberian dan pengolahan nilai, dan pelayanan konseling kepada siswa. Selebihnya adalah belajar dari pelatihan-pelatihan, buku-buku, dan melihat cara kerja kepsek dan staf sekolah tempat guru tersebut bertugas. Jadi, pengetahuan dan kemampuan manajerial ketika masih menjadi seorang guru sangat terbatas.

Ketika guru diberi kesempatan untuk menjadi calon kepsek (cakep), maka barulah sang guru mempelajari teori manajemen tersebut secara seksama. Dalam waktu yang singkat, hingga dinyatakan lulus tes – terlepas dari apakah kelulusannya itu obyektif atau hasil kasak-kusuk – dan mendapat kesempatan untuk mengikut pelatihan cakep, maka barulah mereka dibekali dengan teori-teori kepemimpinan dan manajemen sekolah. Sekarang, tergantung lagi pada kemampuan daya serap cakep bersangkutan, apakah seluruh teori dari pembekalan yang mereka ikuti dapat dipahami dan dikuasai. Karena terus terang saja, yang betul-betul menyerap dan menguasai pembekalan itu saja masih harus berjuang untuk menjalankannya secara ideal ketika sudah menjadi kepsek dengan melihat kondisi ril di sekolah, apalagi cakep yang daya serapnya lemah dan kemampuan memimpinnya yang memang belum maksimal – tapi anehnya lulus jadi cakep – tentu akan ‘terpaksa’ mengelola dengan manajemen sakandak.

Sebagai top manager, kepsek harus melaksanakan empat tahap proses pengelolaan: perencanaan (planning), mengorganisasikan (organizing), pengerahan (actuating), dan pengawasan (controlling), atau biasa disebut POAC (Effendi, dkk., 1997). Dari keempat hal itu, perencanaan adalah tahapan yang paling dikuasai kepsek. Begitu memasuki sekolah tempatnya bertugas, dengan melihat kebijakan sebelumnya yang masih relevan, menganalisis kondisi sekolah, dan mengumpulkan data dan saran dari warga sekolah – sayangnya yang dimintai data biasanya hanya wakasek dan orang yang sebelumnya sudah dikenalnya saja – biasanya seorang kepsek sudah mulai menuangkannya dalam konsep perencanaannya.

Tahapan yang agak terabaikan – dan ini yang sering menimbulkan masalah – adalah pengorganisasian dan pengerahan. Pengorganisasian adalah mengorganisir program pada setiap kegiatan (apa), harus jelas siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa targetnya. Dalam mengorganisasikan sekolah, kepsek harus betul-betul mengetahui kemampuan dan karakteristik guru dan staf lainnya sehingga dapat menempatkannya pada posisi yang sesuai. Mendelagasikannya secara merata pada seluruh guru dan staf sesuai kemampuannya. Tidak menumpukkan sekian tugas dan tanggung jawab pada segelintir guru atau staf sehingga terjadi beban tugas yang lebih (overloaded). Sekalipun dengan alasan bahwa hanya guru dan staf itu saja yang mampu – atau hanya merekalah yang bisa diajak ‘kompromi’!

Kalau dalam pengorganisasian kepsek cenderung eksklusif dan tertutup, maka tentu akan menimbulkan sikap skeptis guru atau staf lainnya. Apalagi kalau pengorganisasian soal penggunaan keuangan terjadi di belakang meja. Jangan heran kalau tahapan pengerahan akan menemui hambatan. Kepsek tidak bisa secara optimal menggerakkan orang-orang dalam organisasinya. Warga sekolah akan bergerak sendiri-sendiri sesuai dengan kemauannya tanpa ada yang bisa mengatur. Sementara, kepsek jadi mengerjakan segalanya sendiri. Sekolah mirip sebuah kapal besar penuh penumpang tapi seperti tanpa nakhoda. Ada yang tekun belajar, ada yang menyanyi, ada yang tidur, main catur, rumput di halaman makin tinggi, sampah berserakan di mana-mana, kaca-kaca penuh debu, bendera lusuh dan kotor. Kapal memang masih berlayar dibawa angin sebisanya, namun untuk dapat sampai ke tujuan terlalu banyak yang jadi korban. Semoga sekolah seperti ini hanya mimpi buruk dan tak satu pun dari kita sempat menemukannya.

Seandainya kondisinya memang demikian, jangan heran kalau sinyalemen kepsek dengan manajemen bakso itu benar adanya. Bahkan kalau manajemen bakso ini membudaya, suatu saat akan muncul sekolah yang dipimpin dengan manajemen pentol. Anda tahu penjual pentol? Pentol adalah penyederhanaan dari bakso. Ketika penjual bakso sudah frustasi, maka yang dijual hanya pentolnya dan ia tiadakan mie dan bihunnya. Pernahkah Anda melihat prilaku penjual pentol? Potongan-potongan lidi alat penusuk pentol yang dibuang pembeli setelah menggunakannya dibiarkan penjualnya berserakan di tanah, lengkap dengan ceceran saos tomat yang memerah. Bagi penjual pentol yang penting jualannya laku, soal sampah lidi yang berserakan itu bukan urusannya. Alangkah naifnya kalau ada kepsek yang menganut manajemen pentol, yang penting sekolah tetap jalan, soal warga dan lingkungan sekolah berantakan, itu urusan lain.

Kembali ke persoalan pernyataan kepala dinas tadi tentang adanya kepsek yang masih menerapkan manajemen bakso. Sekarang bola permasalahan kita kembalikan ke kepala dinas yang bersangkutan. Sebagai pihak yang menjadi atasan langsung si kepsek, tindakan apa yang akan Anda lakukan. Apakah kepsek dengan gaya manajemen seperti itu masih perlu dipertahankan. Haruskah menunggu sampai berakhirnya masa jabatan kepsek yang empat tahun itu. Menunggu dan membiarkan sekolah tersebut dipimpin dengan gaya tukang bakso seperti itu justru akan memperburuk iklim pengelolaan sekolah secara umum. Lama-lama kapal sekolah kita akan tenggelam Dan yang menjadi korban tentu anak bangsa yang menggantungkan masa depan pada sekolah tersebut. Jangan mempertahankan jabatan seorang kepsek tapi dengan menggadaikan nasib anak didik kita.


Aku M..U menjadi Wanita

“ Wanita itu ibarat buku yang dijual di toko buku. ” Kata Bu Liana, guru agamaku ketika SMA.

Ia melanjutkan ceritanya “Begini asosiasinya. . di suatu toko buku, banyak pengunjung yang datang untuk melihat-lihat buku. Tiap pengunjung memiliki kesukaan yang berbeda-beda. Karena itulah para pengunjung tersebar merata di seluruh sudut ruangan toko buku. Ia akan tertarik untuk membeli buku apabila ia rasa buku itu bagus, sekalipun ia hanya membaca sinopsis ataupun referensi buku tersebut. Bagi pengunjung yang berjiwa pembeli sejati, maka buku tersebut akan ia beli. Tentu ia memilih buku yang bersampul, karena masih baru dan terjaga. Transaksi di kasirpun segera terjadi. ”

“iya, terus kak..?” kataku dan teman-teman, dibuat penasaran olehnya.

“Nah, bagi pengunjung yang tidak berjiwa pembeli sejati, maka buku yang ia rasa menarik, bukannya ia beli, justru ia mencari buku dengan judul sama tapi yang tidak bersampul. Kenapa? Kerena untuk ia dibaca saat itu juga. Akibatnya, buku itu ada yang terlipat, kusam, ternoda oleh coretan, sobek, baik sedikit ataupun banyak. Bisa jadi buku yang tidak tersampul itu dibaca tidak oleh seorang saja. Tapi mungkin berkali-kali, dengan pengunjung yang berbeda tetapi berjiwa sama, yaitu bukan pembeli sejati alias pengunjung iseng yang tidak bertanggung jawab. Lama kelamaan, kasianlah buku itu, makin kusam hingga banyak yang enggan untuk membelinya” Cerita Bu Liana.

“Wanita itu ibarat buku. Jika ia tersampul dengan jilbab, maka itu adalah ikhtiar untuk menjaga akhlaknya. Lebih-lebih kalau jilbab itu tak hanya untuk tampilannya saja, tapi juga menjilbabkan hati.. Subhanallah. .!

Pengunjung yang membeli adalah ibarat suami, laki-laki yang telah Allah siapkan untuk mendampinginya menggenapkan ½ dienNya. Dengan gagah berani dan tanggung jawab yang tinggi, ia bersedia membeli buku itu dengan transaksi di kasir yang diibaratkan pernikahan. Bedanya, Pengunjung yang iseng, yang tidak berniat membeli, ibarat laki-laki yang kalau zaman sekarang bisa dikatakan suka pacaran. Menguak-nguak kepribadian dan kehidupan sang wanita hingga terkadang membuatnya tersakiti, merintih dengan tangisan, hingga yang paling fatal adalah ternodai dengan free-sex. Padahal tidak semua toko buku berani menjual buku-bukunya dengan fasilitas buku tersampul. Maka, tentulah toko buku itu adalah toko buku pilihan. Ia ibarat lingkungan, yang jika lingkungan itu baik maka baik pula apa-apa yang ada didalamnya. ” kata Bu Liana.

“wah, kalau begitu jadi wanita harus hati-hati ya..!. ” celetuk salah satu temanku.

“Hmm, .apakah apapun di dunia ini bakal dapet yang seimbang ya, kak? Kayak itu deh, buku yang tersampul dibeli oleh pembeli yang bertanggung jawab. Itukan perumpamaan Wanita yang baik dan terjaga akhlaknya juga dapat laki-laki yang baik, bahkan insyallah mapan, sholeh, pokoknya yang baik-baik juga. Gitu ya, kak?” kata temanku.

“ Benar, Seperti janji Allah SWT, “Wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanit yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (An-Nur:26). Dan, hanya Allah yang tak menyalahi janji. ” penjelasan Bu Liana.

***
Empat tahun berselang.. diskusi itu masih mengena dihatiku. Hingga pada suatu malam, pada suatu muhasabah menyambut usia yang bertambah, “Pff, Ya Allah… Tahu begini, Aku malu jadi wanita. ” bisikku.

Menjadi wanita adalah amanah. Bukan amanah yang sementara. Tapi amanah sepanjang usia ini ada. Pun menjadi wanita baik itu tak mudah. Butuh iman dan ilmu kehidupan yang seiring dengan pengalaman.

Benar. Menjadi wanita adalah pilihan. Bukan aku yang memilihnya, tapi Kau yang memilihkannya untukku. Aku tahu, Allah penggenggam segala ilmu. Sebelum Ia ciptakan aku, Ia pasti punya pertimbangan khusus, hingga akhirnya saat kulahir kedunia, Ia menjadikanku wanita. Aku sadar, tidak main-main Allah mengamanahkan ini padaku. Karena kutahu, wanita adalah makhluk yang luar biasa. Yang dari rahimnya bisa terlahir manusia semulia Rasulullah atau manusia sehina Fir’aun.

Kalau banyak orang lain merasa bangga menjadi wanita, karena wanita layak dipuja, karena wanita cantik memesona, karena wanita bisa dibeli dengan harta, karena wanita cukup menggoda, dan lain sebagainya, maka justru sebaliknya, dengan lantang aku berkata.. “aku malu menjadi wanita!”

Ya, Aku malu menjadi wanita, kalau faktanya wanita itu gampang diiming-iminggi harta dengan mengorbankan harga dirinya. Aku malu menjadi wanita kalau ternyata wanita itu sebagai sumber maksiat, memikat, hingga mengajak pada jalan sesat. Aku malu menjadi wanita kalau ternyata dari pandangan dan suara wanita yang tak terjaga sanggup memunculkan syahwat. Aku malu menjadi wanita kalau ternyata tindak tanduk wanita sanggup membuahkan angan-angan bagi pria. Aku malu menjadi wanita kalau ternyata wanita tak sanggup jadi ibu yang bijak bagi anaknya dan separuh hati mendampingi perjuangan suaminya.

Sungguh, aku malu menjadi wanita yang tidak sesuai dengan fitrahnya. Ya, Aku malu jika sekarang aku belum menjadi sosok wanita yang seperti Allah harapkan. Aku malu, karena itu pertanda aku belum amanah terhadap titipan Allah ini. Entahlah, dalam waktu 19 tahun ini aku sudah menjadi wanita macam apa. Aku malu.. Bahkan malu ini berbuah ketakutan, kalau-kalau pada hari akhir nanti tak ada daya bagiku untuk mempertanggungjawab kan ini semua.

Padahal, setahuku dari siti Khadijah, Aisyah dan Fatimah, wanita itu makhluk yang luar biasa, penerus kehidupan. Dari kelembutan hatinya, ia sanggup menguak gelapnya dunia, menyinari dengan cinta. Dari kesholehannya akhlaknya, ia sanggup menjaga dunia dari generasi-generasi hina dengan mengajarkannya ilmu dan agama. Dari kesabaran pekertinya, ia sanggup mewarnai kehidupan dunia, hingga perjuangan itu terus ada.

Allah, maafkan aku akan kedangkalan ilmuku dan rendahnya tekadku. Aku berlindung pada-Mu dari diriku sendiri. Bantu aku Rabb, untuk tak lagi menghadirkan kelemahan-kelemahan diri saat aku ada di dunia-Mu. Hingga kelak aku akan temui-Mu dalam kebaikan akhlak yang kuusahakan. Ya, wanita sholehah..”


Surabaya Dulu, Gaza Sekarang “sebuah Analog dari seorang teman”

Surabaya, 1945

Langit gelap. Bukan oleh awan yang hendak menurunkan hujan. Angkasa
dipenuhi pesawat sekutu yang bergemuruh. Di dalamnya, para serdadu masih
menyisakan keangkuhan. Mereka baru saja menghancurkan pasukan Jepang di
Front Pasifik. Dari langit, mereka menebar ancaman: “menyerah, atau
hancur”.

Beberapa pekan sebelumnya, pengibaran bendera Belanda memicu amarah para
perindu kemerdekaan. Seorang pejuang mencabik warna biru dari bendera
Belanda di Tunjungan, menggemakan pesan bahwa negeri ini tak rela kembali
dijajah. Tentara sekutu menjawab dengan salakan senapan, bersembunyi di
balik alasan “memulihkan perdamaian dan ketertiban”. Jiwa-jiwa merdeka itu
berontak. Brigadier Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris di
Surabaya, terbunuh. Sekutu murka.

Rakyat gelisah. Surabaya telah lama dikenal sebagai salah satu pusat
perlawanan. Laskar-laskar dari berbagai pesantren dan daerah banyak yang
menjadikan kota ini sebagai markas. Di kota ini pulalah, Cokroaminoto dan
Soekarno muda mendiskusikan cita-cita kemerdekaan.

Suara dari lelaki kurus itu menghapus semua keraguan.

“Saudara-saudara rakyat Surabaya.
Bersiaplah! Keadaan genting.
Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak.
Baru kalau kita ditembak.
Maka kita akan ganti menyerang mereka itu.
Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap.
Merdeka atau mati.
Dan kita yakin, Saudara-saudara.
Akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita.
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah Saudara-saudara!
Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Merdeka!”

Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya itu akan terus dikenang sebagai
tonggak kemerdekaan Indonesia. Semua yang mengaku mencintai negeri ini
tidak layak untuk menjadikan peristiwa itu berdebu di pojokan sejarah.

***

Gaza, peralihan tahun 2008-2009

Kota padat berpenduduk sekitar 1,5 juta orang –mayoritas pengungsi akibat
pengusiran biadab Israel sejak tahun 1948, 1967, dan ekspansi ilegal
pemukiman yahudi yang tak pernah menghormati perjanjian yang dibuatnya
sendiri- itu mencekam. Sejak 27 Desember 2008, pesawat-pesawat Israel yang
dilengkapi dengan bom-bom terbaru kiriman Washington membombardir kota
ini. Ehud Barak, Menteri Pertahanan Israel, menyatakan bahwa operasi
berjudul “Cast Lead” ini akan memakan waktu lama. Hingga hari ini, 510
orang telah meninggal dunia dan ribuan luka-luka. Tidak ada jurnalis
diizinkan masuk. Bantuan medis pun kesulitan.

Demonstrasi bergolak dari Jakarta sampai Eropa. Dari Jordania hingga
Amerika. Posko bantuan dibuka di mana-mana, meskipun masih sangat kurang
dibandingkan kebutuhan penduduk Gaza.

“Saudara-saudara rakyat Surabaya.
Bersiaplah! Keadaan genting.
Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak.
Baru kalau kita ditembak.
Maka kita akan ganti menyerang mereka itu.
Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap.
Merdeka atau mati.

***

Hati saya sakit saat ada yang berkata: “Ngapain kita ngurusin Palestina,
wong negeri kita saja masih amburadul”.

Semoga kita tidak melupakan sejarah bahwa Al-Hajj Amin Al Husaini, Mufti
Palestina, adalah orang pertama yang menyiarkan kemerdekaan Indonesia di
radio internasional.

Alasan yang sepintas terlihat nasionalis ini adalah pengkhianatan kejam
pada nasionalisme Indonesia itu sendiri. Preambule Undang-undang Dasar
1945 mendeklarasikan dengan jelas perlawanan pada segala bentuk
penjajahan. Soekarno dan Hatta berkali-kali menandaskan bahwa nasionalisme
Indonesia tumbuh di taman kemanusiaan. “Jangan pikirkan hal lain kecuali
Indonesia” adalah logika yang menghina keindonesiaan.

Hati saya lebih sakit lagi saat ada yang mengatakan “Itu kan salah HAMAS
sendiri yang tidak mau damai dan menembakkan roket! Media di Indonesia
terlalu berpihak pada Palestina, nih…gak berimbang!”

Lalu, yang berimbang itu seperti apa? Seperti media massa Barat yang lebih
menyalahkan HAMAS, menyiarkan propaganda Israel bahwa serangan ini adalah
respon dari tindakan HAMAS menyerang Israel, menyalahkan sikap HAMAS yang
memutus gencatan senjata? Sepertinya kita harus menelaah peringatan
Finkelstein, seorang ilmuwan Yahudi, dalam bukunya Beyond Chutzpah: On the
Misuse of Anti-Semitism and Abuse of History dan Image and Reality of
Israel-Palestinian Conflict. Sejarah telah dibajak untuk tidak pernah
mengkritisi Israel dan media massa pun tidak bebas dari pembajakan ini.
Untuk melihat bias media barat dalam isu Palestina, silakan buka
http://www.ifamericansknew .org.

Bahkan, menurut saya, media di Indonesia masih terlalu berpihak pada
Israel. Tidak ada yang menyebutkan fakta bahwa pemutusan gencatan
bersenjata oleh HAMAS itu didahului oleh surat protes gerakan perlawanan
itu atas terbunuhnya 4 orang petani di Gaza oleh tentara Israel. Tidak ada
yang mengingatkan bahwa Israel terus melanggar perjanjian damai yang
disepakatinya sendiri dengan membiarkan pemukiman ilegal terus tumbuh.
Kita juga tak boleh lupa dengan tembok pemisah apartheid Israel yang
memutus akses rakyat Palestina pada kebutuhan vital kehidupan. Belum lagi
blokade Gaza yang lebih kejam dari Blokade Berlin pada masa Perang Dingin.

“Itu kan salah HAMAS sendiri yang tidak mau damai…”

Sampaikan pernyataan itu pada Bung Tomo dan para pendiri negeri ini.
Alhamdulillah, para pendiri negeri ini menolak iming-iming perdamaian
palsu di bawah ketiak Ratu Belanda. Soekarno bahkan menantang: “Ini
dadaku, mana dadamu!”

Kalau kita menggunakan logika yang sama, berarti kita mendukung Agresi
Militer Belanda pada tahun 1948. “Itu kan salah para pejuang kemerdekaan
Indonesia yang tidak mau damai!”

Tidak banyak yang mengingatkan bahwa Israel berdiri dengan berkubang darah
pembersihan etnis yang menghalalkan pembantaian dan pengusiran terhadap
penduduk asli Palestina (Ilan Pappe: The Ethnic Cleansing of Palestine).
Komunitas Yahudi yang hidup dalam perdamaian di bawah Khilafah Utsmaniyah
tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan saudara-saudara mereka yang mengungsi
dari kebiadaban Eropa dan membawa ide rasis radikal untuk mendirikan
Israel (Amy Dockser Marcus, Jerusalem 1913). Bayangkan, komunitas yahudi
saat itu yang sekecil komunitas muslim di Swedia saat ini tiba-tiba
menuntut Negara sendiri dengan luas wilayah yang melebihi luas wilayah
penduduk aslinya. Kalau muslim di Swedia tiba-tiba menuntut mendirikan
Negara Islam, mereka pasti segera dicokok dan dilabeli teroris.

Memori pembantaian ini dihapus dari sejarah dunia dan dari kesadaran
rakyat Israel. Pada saat yang bersamaan, kenangan pahit ini terus hidup di
antara rakyat Palestina. Maka, sangat sulit bagi orang Palestina untuk
menerima perdamaian yang tidak pernah berpihak pada mereka, lha wong
keberadaan Israel saja tidak legal! Wajar jika popularitas HAMAS semakin
lama justru semakin meningkat.

Indonesia saat itu tegas tidak mengakui Israel karena melihat fakta ini.
Sayang, kini banyak yang sudah lupa. Banyak yang terjebak dalam narasi
fiktif “Israel yang cinta damai terancam keberadaannya oleh HAMAS yang
ekstrimis yang tidak mau damai”.

Kalaupun kita harus menerima fakta bahwa berdasarkan hukum rimba Israel
itu eksis, tidak berarti bahwa kita berhak menyalahkan mereka yang
menghendaki perdamaian sejati yang lahir dari kemerdekaan. Saya mendukung
proses perdamaian, tapi harus dengan dialog yang adil dan terbuka yang
melibatkan HAMAS sebagai kekuatan riil di Timur Tengah. Tidak sekedar
perjanjian sepihak yang dibuat AS dan Israel lalu dipaksakan pada
Palestina.

Kemanusiaan. Keindonesiaan. Islam. Ketiganya memaksa saya berpihak pada
yang lemah dan tertindas.